Harga Kedelai Meroket, Apa Penyebabnya?

Harga kedelai khususnya kedelai impor meroket dari harga normal. Bukan hal biasa karena harga kedelai naik secara signifikan dari semula Rp 6000-7000, tiba-tiba melonjak hingga mencapai  Rp 8000-9000 per kilogram. Hal ini tentunya menciptakan ketegangan pasar yang panik, dengan naiknya harga secara otomatis para pelaku usaha yang mengandalkan kedelai sebagai bahan baku utama akan merasakan dampak yang utama. Para pengrajin tahu dan tempe adalah pelaku usaha yang termasuk paling merasakan lonjakan harga kedelai ini. Harga Kedelai Meroket, Apa Penyebabnya?

Dari data yang ada salah satu faktor yang menyebabkan kenaikan harga karena harga kedelai dunia yang naik hingga 100 persen. Trend kenaikan ini sudah terlihat sejak bulan Mei 2020 hingga kini Januari 2021. Patut diketahui bahwa hampir 90 persen kedelai yang ada di Indonesia adalah hasil impor. Volume impor kedelai Indonesia mencapai 2 -2,5 Juta Ton per tahunnya, sedangkan memang produksi kedelai nasional justru mengalami penurunan hingga dibawah 800 ribu ton pertahun. 70 % diantara volume impor memang dialokasikan untuk produksi tempe, dan 25 % untuk produksi tahu, sisanya untuk produk olahan kedelai lainnya. Jika memandang kondisi, hal ini cukup jauh dari total kebutuhan yang mencapai 2,8 juta per tahun. Jika melihat data, maka harga kedelai yang ada dipasaran sangat bergantung pada harga pasar internasional, karena pasokan kedelai nyaris 90 % adalah hasil impor. Saat ini ada 3 negara yang memasok kedelai terbesar di Indonesia yakni China, Amerika Serikat dan Brasil. Oleh sebab itu, harga kedelai sangat ditentukan oleh kondisi negara eksportir.

Pedagang menunjukkan kedelai impor Amerika yang dijual di Jakarta Timur, Jakarta. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/kye/18.

Saat ini misalnya, China sebagai importir kedelai terbesar di Asia telah pulih dari pandemi covid-19. Hal ini membuat permintaan pangan khususnya kedelai meningkat drastis. Hal ini berdampak karena China merupakan salah satu pemasok kedelai terbesar ke Indonesia. Dengan meningkatnya permintaan kedelai di China, otomatis pemenuhan kebutuhan nasional akan menjadi fokus utama, sehingga otomatis menghambat pengiriman kedelai ke negara tujuan impor, termasuk Indonesia. Hal yang sama juga terjadi dinegara tujuan impor di Eropa, saat ini permintaan akan kedelai meningkat seiring dengan perubahan dan kecenderungan masyarakat Eropa untuk mengurangi konsumsi produk hewani dengan beralih ke konsep vegetarian. Hal ini merupakan salah satu faktor yang juga menghambat pasokan kedelai ke Indonesia, pasalnya dengan kondisi covid-19 yangmasih belum pulih sepenuhnya, negara eksportir kedelai cenderung menghindari resiko dalam proses pengiriman. Pengiriman hanya dilakukan pada negara-negara yang cenderung dekat dan tidak beresiko.

Related Article  Porang, Tanaman Yang Punya Nilai Ekspor Menjanjikan

Problem kedelai akan terus berlanjut dan berulang dikemudian hari, selama kebutuhan nasional tidak dapat dipenuhi hingga 50 %. Tentunya hal ini butuh komitmen Bersama untuk meningkatkan produktivitas lahan yang cenderung turun dan rendah hingga 2 ton per hektar. Produktivitas ini 100 % lebih rendah dari AS yang mencapai 4 ton per ha. Namun salah satu faktornya yang lama penyinaran sinar matahari di AS yang bisa mencapai 15-16 jam per hari. Selain itu proses eksentifikasi perlu dilakukan dilahan utamanya diluar Jawa untuk menambah pasokan produksi secara bertahap. Harga Kedelai Meroket, Apa Penyebabnya?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *