Paradigma pertanian Indonesia menekankan kearah peningkatan produksi, petani sebagai subjek dari rencana tersebut perlu dukungan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Pemerintah dalam hal ini berperan sebagai support system bagi para pelaku pertanian baik dalam kebijakan maupun dalam penyediaan sarana dan prasarana pengelolaan pertanian. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan peningkatan produksi adalah pemberian pupuk. Peran pupuk sebagai media ketersediaan nutrisi bagi tanaman memicu peningkatan produksi. Petani Indonesia dalam memperoleh pupuk berasal dari dua sumber yaitu pupuk subsidi dan pupuk nonsubsidi. Kelangkaan Pupuk Bersubsidi, Penyakit Yang Belum Tersembuhkan
Pupuk subsidi merupakan pupuk bantuan pemerintah dalam bentuk barang dimana pemerintah sebagai penyedia sarana produksi petani bekerja sama dengan perusahaan BUMN untuk memproduksi pupuk kemudian disalurkan ke petani. Pemerintah menggelontorkan dana untuk memotong biaya produksi pupuk sehingga harga pupuk subsidi yang sampai ke petani lebih murah dan oleh karena itu pupuk subsidi digemari oleh petani. Program pupuk bersubsidi bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional dengan peningkatan produksi sesuai dengan SK Menteri Pertanian Nomor 106/Kpts/SR.130/2/2004. Namun dalam proses pendistribusian pupuk ini kerap sekali terjadi masalah sehingga kasus kelangkaan pupuk subsidi marak terjadi.
Kelangkaan pupuk subsidi terjadi ketika ketersedian pupuk subsidi tidak mencukupi kebutuhan petani. Terjadinya kelangkaan pupuk disebabkan oleh beberapa faktor sebab proses pengajuan penetapan volume pupuk nasional melibatkan banyak instansi begitupula dalam proses pendistribusiannya. Volume pupuk sendiri ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian setelah mendapat data ajuan dari petani sampai pusat melalui sistem pendaftaran elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK) oleh petani, kemudian ditetapkan dengan dikeluarkannya SK menteri beserta dengan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk subsidi.
Ketimpangan distribusi pupuk subsidi kerap terjadi karena persoalan ketidaksesuaian data yang dibutuhkan petani dengan data pengadaan barang. Hal ini bisa terjadi karena pendataan ditingkat petani yang belum optimal seperti masih adanya petani yang tidak masuk dalam kelompok tani atau data luasan lahan petani yang terdata belum sesuai dengan yang terdata atau bisa karena ketidaksanggupan pemerintah memenuhi kebutuhan petani.Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 49 Tahun 2020 tentang alokasi dan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk subsidi menetapkan bahwa tahun 2021 volume pupuk 8,9 juta ton dengan alokasi dana Rp 25,276 triliun yang meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 7,9 juta ton. Akan tetapi prediksi Bustanul Arifin sebagai Wakil Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) memperkirakan tetap akan terjadi kelangkaan sebab data lapangan berdasarkan e-RDKK sebesar 23,4 juta ton. Dari data tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa APBN pemerintah belum sanggup mensubsidi kebutuhan pupuk petani secara keseluruhan sehingga akan terjadi kelangkaan pupuk subsidi. Kelangkaan Pupuk Bersubsidi, Penyakit Yang Belum Tersembuhkan
Penyaluran pupuk subsidi dilakukan secara berangsur-angsur sehingga skema pemerintah menetapkan jatah bulanan untuk setiap kelompok. Skema ini sering juga menjadi pemicu terjadinya kelangkaan karena prediksi waktu tanam petani yang pendataan kurang optimal sehingga ketika petani membutuhkan justru jatah bulanan sudah habis dan harus menunggu datangnya kembali pupuk yang didistribusikan tidak secara bersamaan. Proses distribusi pupuk yang melibatkan beberapa tahap dan beberapa kali singgah justru menjadi corong terjadinya kelangkaan pupuk dan memberi jalan bagi para pelaku mafia pupuk. Pola subsidi harusnya mulai dibenahi sebab dengan pola sekarang memberikan peluang bagi para pelaku pengejar rente untuk mengambil kesempatan sehingga harga pupuk subsidi pun tidak sesuai dengan yang sudah ditetapkan pemerintah. Hal serupa juga dikatakan oleh Dwi Andreas Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) saat diwawancara tirto.id bahwa sistem yang digunakan sudah 40 tahun dan sudah saatnya diubah. Selain itu beliau menyarankan agar proses distribusi dilakukan secara langsung sampai kepetani agar tidak ada celah bagi para mafia pupuk untuk beroperasi.
Kelangkaan pupuk tahun ini mulai ramai diberitakan dimedia mulai bulan januari sampai bulan ini, memuat fakta-fakta lapangan dan merilis berbagai keluhan petani. Salah satunya dirilis Sumatra.bisnis.com yang dirilis 30 februari memuat pernyatan kepala dinas pangan dan hortikultara tentanya penyebab kelangkaan pupuk karena kurangnya atau lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3). Jika di telisik dari sisi pengawasan maka menjadi indikator penting optimalnya penyaluran pupuk sampai ditingkat petani, sebab ditingkat kios pengecer yang mendapat izin untuk menjual pupuk subsidi sering terjadi peningkatan harga dan kejadian terjadi dihampir semua wilayah. Salah satu penulis dapati di Sulawesi Selatan tepatnya di Kabupaten Bone Kecamatan Dua Boccoe saat berdiskusi dengan petani jagung bahwa harga urea subsidi yang mereka beli seharga 135000 ribu sedangkan harga normalnya sebesar 112.500 ribu. Olehnya itu tim pengawasan dari pemerintah harusnya lebih gesit dalam melihat fakta lapangan agar tidak terjadi ketimpangan.
Selain dari uraian penyebab kelangkaan pupuk diatas juga kelangkaan bisa terjadi karena faktor petani itu sendiri. Penggunaan pupuk yang tidak sesuai dengan kebutuhan lahan atau penggunaan pupuk secara berlebihan masih sering dijumpai dilapangan. Hal tersebut menjadikan petani lebih banyak membutuhkan pupuk dibandingan yang telah ditetapkan sesuai dengan dosis kebutuhan luasan lahan. Fakta ini menunjukkan bahwa lemahnya sosialisasi yang terjadi ditingkat petani. Tentunya fakta itu dapat merugikan, selain dapat merugikan karena dapat menurunkan produksi lahan juga merugikan dalam hal penyediaan pupuk. Peran aktif penyuluh harus diperkuat agar pendampingan untuk pengembangan petani dalam mengelola lahan bisa ditingkatkan.
Kasus kelangkaan pupuk subsidi sudah menjadi penyakit ditubuh pertanian Indonesia yang hamper setiap tahunnya terjadi. Penyakit langka yang belum bisa menemukan suatu sistem yang bisa mempola optimalisasi penyediaan pupuk subsidi bagi petani. Digitalisasi pendataan yang diterapkan oleh pemerintah masih belum sanggup mengatasi kasus ini bahwa dasar kualitas suatu data tergantung dari perolehan data primer dalam hal ini data luasan lahan petani sehingga tidak terjadi simpang siur antara data kebutuhan dengan data volume yang ditetapkan. Selain itu jika kemampuan APBN pemerintah belum bisa memenuhi secara keseluruhan akan lebih baik pemerintah memperhatikan dimensi harga utamanya harga produk petani sehingga memiliki tabungan modal untuk menutup harga pupuk alternatif selain dari pupuk subsidi. Kelangkaan Pupuk Bersubsidi, Penyakit Yang Belum Tersembuhkan
Penulis : Yusran