Perikanan Indonesia merupakan sumber daya alam yang sangat menjanjikan dan disusul oleh sektor pariwisata laut yang memiliki prospek besar dan menjadi primadona tersendiri dalam mengundang wisatawan lokal maupun internasional. Keberagaman hayati di lautan Indonesia juga menjadi salah satu yang paling terbesar didunia dan banyak menyajikan surga bawah laut yang mempesona. Nelayan Dilema Saat Pandemi Menyapa
Potensi perikanan tangkap juga sangat tinggi dengan produksi sebanyak 6,5 juta ton pertahunnya. Maka dari itu potensi tersebut harus dimanfaatkan secara optimal guna mendorong kesejahteraan masyarakat Indonesia yang tentunya tidak terlepas dari tanggung jawab semua pihak mulai dari pemerintah, masyarakat nelayan dan pengusaha-pengusaha mikro dan menengah untuk menjadikan kerja sama dalam meningkatkan penghasilan dengan memanfaatkan sumber hayati yang lestari.
Walaupun Indonesia sangat kaya akan sumber daya hayati lautnya, akan tetapi juga tidak terlepas dari yang Namanya polemik, pada nelayan sendiri khususnya sangat banyak polemik yang muncul, salah satunya dari dampak epidemi wabah virus corona yang sekarang juga menyerang Indonesia padahal bulan April adalah saat dimana musim ikan dilaut sangat melimpah.
Banyaknya sekarang nelayan-nelayan Indonesia yang tidak melaut, karena walaupun mereka melaut dan mendapat hasil tangkapan, itu tidak menjamin menutupi kembali biaya operasional melaut dengan turunnya harga ikan saat ini, dan inilah dampak nyata virus corona bagi nelayan, terlebih lagi dengan himbauan pemerintah untuk tinggal dirumah dan membatasi pertemuan konsumen. Nelayan sangat membutuhkan perhatian dari apa yang terjadi saat ini. Walaupun produksi ikan melimpah, tetapi daya tampung kita sebenarnya menjadi topik yang bisa di perbincangkan untuk bias diatasi dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan ditambah minimnya daya serap yang mengakibatkan harga pasar sangat anjlok.
Hal yang paling besar untuk diperhatikan dalam dunia perikanan tangkap adalah cool storage agar hasil tangkapan nelayan bisa meningkat dan penjualan yang menjaga mutu kualitas ikan. Karena terbatasnya daya tampung tersebut sehingga tidak sedikit nelayan merugi karena cepatnya rusak ikan tersebut.
“Hal ini menjadi rujukan pemerintah tentunya untuk mengalokasikan anggaran ke nelayan-nelayan yang terdampak virus corona demi mendorong kesejahteraan nelayan”
Pengaruh pasar juga yang masih menjadi polemik terhadap nelayan karena belum adanya aturan yang mengatur Harga Pokok Penjualan (HPP) pada sektor perikanan tangkap seperti pada aturan harga untuk beras dan gabah. Keadaan seperti inilah sangat diharapkan peran pemerintah untuk mendongkrak kesejahteraan nelayan Indonesia terlebih sekarang wabah virus corona banyak berdampak kepada masyarakat kecil.
Sumber daya laut yang kaya di Indonesia, menjadikan negara ini sebagai penghasil ikan terbesar kedua di dunia dan peringkat keempat di dunia untuk produksi komoditas budidaya. Di Indonesia, produk perikanan menyediakan 54 persen dari seluruh protein hewani yang dikonsumsi. Secara keseluruhan, sektor perikanan tangkap diperkirakan menyediakan lapangan kerja langsung lebih dari enam juta orang dan lapangan kerja tidak langsung bagi jutaan lainnya.
Seiring budidaya perairan mengalami peningkatan yang cepat, diperkirakan sektor ini menyumbang 8,9 juta lapangan kerja dalam produksi. Meski demikian kondisi ekonomi nelayan masih memprihatikan. Setidaknya 20 sampai 48 persen nelayan dan 10 hingga 30 persen pembudidaya tergolong miskin. Sekitar 53% keluarga di wilayah pesisir hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini tentu menjadi karakteristik spesifik kerentanan nelayan dan pembudidaya dalam menghadapi Covid-19.
Semakin meluasnya penyebaran Covid-19 belum diiringi literasi nelayan dan masyarakat pesisir mengenai dampak yang akan ditimbulkan. Penyebar-luasan informasi dan edukasi dari pemeritah juga dirasakan belum optimal di lapangan. Kebijakan physical distancing akan terkendala jika melihat tingkat kepadatan penduduk dan bangunan di perkampungan nelayan pada umumnya. DItambah beragam soal kesehatan yang muncul seperti sanitasi, air bersih dan sampah. Ikhtiar yang mesti dilakukan adalah menjalankan protokol pencegahan penyebarannya sedapat mungkin, di perahu-perahu nelayan, pasar ikan, rumah tinggal, warung kopi maupun pelabuhan.
Kesulitan yang dirasakan dikarenakan banyaknya pengepul ikan yang tutup gudang sehingga banyak nelayan yang kewalahan untuk menjual hasil tangkapan. Hal ini didorong akibat kurangnya peminat masyarakat dalam membeli ikan sehingga pasar/TPI sepi yang merupakan dampak lain akibat adanya physical distancing (pembatasan keluar rumah). Selain itu, penutupan ekspor ikan pun menjadi kendala yang dirasakan oleh nelayan. Nelayan Dilema Saat Pandemi Menyapa
Banyak nelayan mengalami posisi dilema. Jika melaut nelayan akan kesulitan untuk mencari pembeli hasil tangkapannya, jikapun ada yang membeli harganya akan sangat murah, sehingga modal untuk mereka melaut akan berkurang bahkan merugi. Selain itu, nelayan juga masih menghadapi persoalan akses yang terbatas dan harga BBM yang cukup mahal di lapangan sehingga menyulitkan nelayan untuk pergi bekerja. Dilain pihak, nelayan membutuhkan biaya untuk hidup seperti membeli kebutuhan pangan/sembako, yang harganya dilaporkan meningkat di beberapa lokasi dan biaya tambahan lain akibat adanya pandemi virus, seperti membeli desinfektan.
Selain itu kendala lain yang dirasakan adalah pengurusan administrasi kapal. Hal ini dirasakan oleh anggota nelayan yang berada di kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang. Hal sama juga dirasakan oleh para pembudi daya ikan, dimana mereka kesulitan untuk mencari benih dan sarana kegiatan pembudidaya seperti pakan dan obat-obatan khususnya yang berasal dari impor. Hal ini di rasakan oleh pembudi daya di Pangandaran, Manggarai Barat, dan Lampung.
Ada enam skenario yang harus segera dibuat pemerintah untuk menanggulangi polemik yang ada sebagaimana dikutip dari hasil dialog media DPP KNTI: (1) melalukan upaya-upaya pencegahan penyebaran Covid-19 di kampung-kampung nelayan dan pesisir (penyemprotan disinfektan, rapid test, dll); (2) Mengatasi penurunan ekspor komoditas perikanan tangkap maupun budidaya akibat penutupan/pengurangan permintaan ekspor dari negara-negara yang terkena dampak Covid-19 (memberikan insentif khusus bagi pelaku usaha perikanan dan kelautan); (3) Mempertahankan produksi dan membuat skema untuk menstabilkan harga ikan di tingkat lokal yang harganya turun.
Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara pemerintah, pemerintah daerah, atau pemerintah desa menyerap produksi ikan maupun olahan ikan dari nelayan-nelayan/pembudidaya kecil maupun koperasi nelayan, untuk persediaan pangan maupun program-program bantuan sosial/pangan; (4) Memberikan stimulus untuk menjaga daya beli masyarakat, khususnya terhadap 18 jenis ikan konsumsi masyarakat, seperti kembung, tongkol, layang, udang, kakap, dll. Kebijakan ini harus diiringi dengan memperbaiki jalur distribusi ikan di pasar-pasar lokal/pasar rakyat; Nelayan Dilema Saat Pandemi Menyapa (5) pelonggaran/penundaan pembayaran kredit bagi usaha-usaha perikanan skala kecil dan menengah serta memperkuat skema permodalan usaha berbiaya murah (KUR, Bank Mikro Nelayan, LPDB); (6) menyusun program jaring pengaman sosial yang efektif dan disesuaikan bagi nelayan dan pembudidaya skala kecil terdampak covid-19 dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari akibat penurunan kinerja ekonomi yang trennya semakin dalam ke depan.
Penulis : Muh.Taqwa
Referensi :
Hasil-Hasil Dialog Media DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia