Seperti Apa Itu Fortifikasi Pangan ?

Fortifikasi pangan oleh WHO adalah menambahkan atau meningkatkan zat gizi tertentu ke dalam bahan pangan untuk meningkatkan kualitas pangan. Biasanya fortifikasi dilakukan untuk menambahkan zat gizi yang secara alami tidak ada di dalam makanan atau minuman tertentu. Fortifikasi juga bisa dilakukan untuk mengembalikan suatu zat gizi yang hilang dalam proses pengolahan makanan atau minuman. Tujuan utama dilakukan fortifikasi pangan adalah untuk membantu memastikan anak-anak, maupun orang dewasa, mendapat asupan gizi yang cukup.

Fortifikasi pangan juga berarti menambahkan nutrisi yang hilang selama pemrosesan di pabrik. Banyak biji-bijian olahan yang diperkaya dengan berbagai nutrisi. Tepung gandum, misalnya, mungkin memiliki asam folat, riboflavin, dan zat besi yang ditambahkan kembali setelah diproses. Hal ini dimaksudkan untuk mengembalikan kadar vitamin aslinya. Menambahkan nutrisi ke makanan, terutama makanan pokok, dapat meningkatkan asupan di antara sebagian besar penduduk. Di negara-negara di mana asupan zat gizi tertentu sangat rendah, fortifikasi dapat membantu mengurangi penyakit akibat kekurangan zat gizi.

Masalah Kekurangan Vitamin A

FAO memperkirakan sekitar 805 juta penduduk dari 7,3 miliar penduduk dunia (atau satu dari sembilan orang) mengalami kekurangan gizi kronis dalam kurun waktu 2012 hingga 2014. Sebagian besar yaitu sebanyak 791 juta orang, hidup di negara-negara berkembang, atau satu dari delapan penduduk negara berkembang. Dan sekitar 11 juta orang kekurangan gizi berada di negara-negara maju. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus mengalami peningkatan

Salah satu masalah kekurangan gizi/vitamin adalah VAD (vitamin A deficiency) yang merupakan masalah kesehatan utama di Afrika. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan 250.000 sampai 500.000 anak kekurangan vitamin A dan menjadi buta setiap tahun. Lima puluh persen dari jumlah tersebut meninggal dalam waktu 12 bulan. Pada wanita hamil, VAD dapat menyebabkan kebutaan malam dan meningkatkan risiko kematian ibu. Di Afrika dan Asia Tenggara, tingkat VAD kalangan anak-anak dan wanita hamil adalah tertinggi di dunia, sehingga perlu dicari solusi jangka panjang untuk masalah ini (Bafana, 2015). Di samping itu, WHO (2002) menyebutkan bahwa sekitar dua miliar penduduk dunia terutama wanita dan anak-anak mengalami kekurangan unsur Fe dan Zn. Unsur Fe sangat penting untuk pembentukan sel darah merah, membentuk enzim, berperan dalam proses metabolisme, pengaturan sel pertumbuhan. Sedangkan unsur Zn sangat penting untuk perkembangangan fisik dan mental, sistem kekebalan tubuh, serta berperan dalam memelihara kesuburan.

Related Article  Intensifikasi Lahan Sawah Solusi Atasi Krisis Pangan Pasca Pandemi

Penduduk dunia yang mengalami kekurangan gizi biasanya hidup di daerah-daerah marginal dan banyak yang mengkonsumsi ubi kayu sebagai makanan pokoknya. Sehingga perlu ada upaya untuk meningkatkan nilai gizi ubi kayu. Salah satu cara peningkatan nutrisi/vitamin ubi kayu adalah melalui biofortifikasi. Kandungan asam sianida (HCN) pada ubi kayu juga membahayakan kesehatan manusia bahkan dapat menimbulkan kematian. Oleh karena itu, untuk keperluan pangan maka perbaikan sifat ubi kayu tidak hanya untuk meningkatkan nilai gizinya tetapi juga untuk menurunkan kadar HCN hingga aman untuk dikonsumsi.

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengungkapkan pentingnya penanggulangan kekurangan gizi dalam kaitannya dengan upaya peningkatan SDM pada seluruh kelompok umur sesuai siklus kehidupan. Karena kekurangan gizi memiliki dampak buruk yang besar diantaranya adalah : (i) rendahnya produktivitas kerja, (ii) kehilangan kesempatan sekolah, dan (iii) kehilangan sumberdaya karena biaya kesehatan yang tinggi. Pada tingkat nasional, pembangunan pangan, kesehatan, dan pendidikan juga ditempatkan sebagai prioritas utama dalam RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) 2005-2025.

Data Kondisi Pangan Indonesia

Menurut data Global Food Security Index (GFSI), ketahanan pangan Indonesia pada 2021 memang melemah dibanding tahun sebelumnya. GFSI mencatat skor indeks ketahanan pangan Indonesia pada 2020 mencapai level 61,4. Namun, pada 2021 indeksnya turun menjadi 59,2. Indeks tersebut menjadikan ketahanan pangan Indonesia tahun 2021 berada di peringkat ke-69 dari 113 negara.

GFSI mengukur ketahanan pangan negara-negara dari empat indikator besar, yakni keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi dan keamanan makanan (quality and safety), serta ketahanan sumber daya alam (natural resources and resilience). Menurut penilaian GFSI, harga pangan di Indonesia cukup terjangkau dan ketersediaan pasokannya cukup memadai jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Namun, infrastruktur pertanian pangan Indonesia masih di bawah rata-rata global. Standar nutrisi dan keragaman makanan pokok juga masih dinilai rendah. Sumber daya alam Indonesia juga dinilai memiliki ketahanan yang buruk karena belum dilindungi kebijakan politik yang kuat, serta rentan terpapar bencana terkait perubahan iklim, cuaca ekstrem, dan pencemaran lingkungan.

Related Article  KKP Dorong Inovasi Produk Perikanan Ditengah Pandemi Covid-19

Kebijakan perdagangan pangan Indonesia selama ini cukup proteksionis dan kurang terbuka. Terdapat hambatan tarif dan non-tarif, seperti pengenaan pajak, adanya sistem kuota, ketentuan pengemasan, regulasi yang panjang dan tidak sederhana dan pada beberapa komoditas, adanya monopoli karena impor hanya bisa dilakukan oleh perusahaan BUMN yang ditunjuk pemerintah

Referensi :

[1] Riset Biofortifikasi Pangan untuk Atasi Persoalan Nutrisi | Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (lipi.go.id)