Intensifikasi Lahan Sawah Solusi Atasi Krisis Pangan Pasca Pandemi

Pada dasarnya usaha intensifikasi erat hubungannya dengan optimalisasi lahan karena tujuan melaksanakan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan produktivitas persatuan luas dan atau meningkatkan luas pertanaman atau indeks pertanaman (IP), melalui penerapan teknologi. Intensifikasi Lahan Sawah Solusi Atasi Krisis

Model intensifikasi yang telah dikembangkan di Madagaskar dan telah dievaluasi oleh beberapa negara, memperlihatkan besarnya kemungkinan untuk peningkatan produksi padi dalam sistem padi sawah irigasi dan sekaligus juga mampu mempertahankan kelestarian sum-berdaya. Petani-petani yang menggunakan model ini dapat meningkatkan hasil padinya sampai dua kali lipat. Model yang disebut sebagai Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) ini memperhitungkan keterkaitan dan keterpaduan antara tanaman. Intensifikasi produksi padi mencakup peningkatan mekanisasi pertanian, perbaikan irigasi terutama pintu-pintu air yang kurang berfungsi, perbaikan pemupukan dan penggunaan benih unggul padi, serta pengolahan pasca panen. Melalui dukungan pemerintah dan swasta termasuk swadaya transmigran sendiri.

Selain itu, Badan pangan dunia atau FAO memprediksi wabah corona atau covid-19 memicu terjadinya krisis ketahanan pangan secara global. Sebab, pasar pangan internasional akan berkontraksi akibat tiap negara berupaya memenuhi kebutuhannya sendiri.

Pemerintah melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) akan melakukan intensifikasi 509.000 hektare (ha) lahan pertanian di kawasan transmigrasi dari 3,2 juta ha lahan transmigrasi yang ada. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan produksi padi di Indonesia. Utamanya untuk menopang kondisi pangan nasional pasca pandemi. Intensifikasi Lahan Sawah Solusi Atasi Krisis

Intensifikasi Lahan Sawah Solusi Atasi Krisis Pangan Pasca Pandemi

Lahan transmigrasi yang akan diintensifkan tersebut berada di 243 desa yang ada di  Mesuji (Lampung), Telang (Banyuasin), Bangka Belitung,  Rasau Jaya (Kubu Raya), Dadahup (Lamunti (Kapuas), Barito Kuala (Kalimantan Selatan), Maloy (Kutai Timur), Boalemo (Gorontalo), Bungku (Sulawesi Tengah), serta Luwu Timur.

Related Article  Harga Kedelai Meroket, Apa Penyebabnya?

Lokasi tersebut menjadi fokus karena memenuhi sejumlah syarat untuk intensifikasi, yakni ketersediaan lahan dan tenaga kerja, adanya bibit unggul dan pupuk, mekanisasi dan irigasi, Rice Milling Unit, offtaker hingga mitra kerja seperti bank dan lainnya. dari total lahan yang diintensifikasi tahun ini, akan bisa diproduksi 5 juta ton padi, sehingga akan ada dihasilkan sekitar 2 juta ton beras per tahun.

“2 juta ton beras setahun itu untuk dua kali musim tanam dan dua kali musim panen, dengan asumsi [produksi] per hektarnya 5 ton-6 ton padi. Kita menargetkan 5 ton-6 ton sudah bagus. Meski ada wilayah yang bisa produksi 9 ton per ha, tetapi kita tidak mau menggunakan hitungan itu karena tidak umum,” ujar Abdul.

Dengan perkiraan konsumsi beras per kapita per tahun bisa mencapai 125 kg, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar mengatakan beras produksi hasil intensifikasi ini bisa memenuhi konsumsi 16 juta masyarakat per tahun.

Untuk anggarannya, Kemendes PDTT mengalokasikan sekitar Rp 236 miliar. Selain itu, Kemendes juga mengalokasian dari program padat karya intensifikasi padi sebesar Rp 94 miliar. “Dana salah satunya dari dana desa pagunya Rp 236 miliar, tapi juga dari Kementerian/Lembaga lain, misalnya untuk irigasi pelaksanaan dari kementerian desa dan bisa gunakan padat karya tunai desa dengan alokasi total Rp 94 miliar. Itu untuk intensifikasi di 243 desa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *