Pelaksanaan aturan mengenai izin penggunaan cantrang saat ini terus dikaji oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). KKP masih terus mencermati mengenai regulasi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas.
Regulasi mengenai penggunaan cantrang masih melalui tahapan pengkajian dan konsultasi dengan semua pihak terkait. Semua prinsip sangat diperhatikan utamanya kedaulatan, pelestarian lingkungan dan terjadinya keseimbangan ekosistem maritim. Adapun Permen KP Nomor 59/2020 dilkeluarkan untuk mengatur selektivitas dan kapasitas Alat Penangkapan Ikan (API), perubahan penggunaan alat bantuan penangkapan ikan, perluasan pengaturan, baik dari ukuran kapal maupun Daerah Penangkapan Ikan (DPI).
Permen KP Nomor 59/2020 juga mengatur mengenai pengaturan jalur untuk kapal yang disesuaikan dengan ukuran GT yang disesuaikan dengan izin usaha dan juga disinkronisasi dengan kodifikasi alat penangkapan ikan berdasarkan International Standard Statistical Classification of Fishing Gear (ISSCFG) yang dikeluarkan Badan PBB yakni FAO. Permen KP Nomor 59/2020 merupakan hasil revisi Permen KP No. 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Permen KP Nomor 59/2020 dalam pasal 36 menyebutkan dikeluarkannya cantrang dalam kategorisasi alat tangkap yang dapat menganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan. Alat yang masuk kategori yakni lampara dasar, pair sein,pukat hela kembar berpapan (twin bottom otter trawl), pukat hela dasar berpalang (beam trawl), pukat hela dasar dua kapal (bottom pair trawl, perangkap ikan peloncat (aerial trap), pukat hela dasar berpalang (beam trawl) dan muro ami (drive-in net). Dengan demikian aturan tersebut dengan sendirinya melegalkan cantrang sebagai alat tangkap yang dapat menyebabkan kerusakan ekosistem sumber daya ikan.
Meski demikian aturan tersebut memang masih bertentangan dengan rilis KKP pada dokumen Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir tahun 2018 yang menyebutkan bahwa cantrang dapat menyebabkan terjadinya penangkapan ikan yang eksploitatif, rusaknya terumbu karang dan dapat memicu konflik sosial pada nelayan.
Pada bulan Januari 2021, problem cantrang kembali mencuat dan memasuki babak baru. Hal ini dikarenakan menguatnya isu relaksasi penggunaan cantarang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap mengungkapkan adanya beberapa perubahan baru dari kebijakan yang telah diterapkan. Kebijakan baru akan mengatur mengenai peraturan alat baku penangkapan ikan.
Dimana nantinya KKP akan mengadakan pembatasan kapal penangkap yang menggunakan cantrang. Dalam artinya tidak ada lagi penambahan kapal yang baru. Alat tangkap cantrang pun boleh digunakan hanya pada pukat tarik satu kapal, sedang untuk purse seine hingga pukat hela dua kapal, itu tetap dilarang. KKP juga akan memberlakukan penerapan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk kapal yang berkapasitas besar dan tidak ramah lingkungan.
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap juga mengungkapkan belum adanya alat tangkap yang efisien bagi nelayan kecil menjadi salah satu alasan adanya relaksasi aturan ini. Data terbary menunjukkan bahwa ada 115 ribu nelayan yang terlibat cantrang dan mereka juga bukan pemilik kapal. Nelayan ini banyak yang mengoperasikan kapal dibawah 5 GT dan nelayan yang menjadi buruh banyak yang bekerja dikapal 100 GT. Dengan adanya pelarangan, hal ini menjadi cukup menyulitkan bagi mereka yang memang menggantungkan hidup dari hasil tangkapan tersebut.
Meski demikan, rencana relaksasi aturan ini banyak mendapat sorotan dari sejumlah kalangan karena banyak bertentangan dengan rilis dan laporan dari KKP itu sendiri. Kajian KKP tahun 2018 mengenai statistik sumber daya laut dan pesisir memang merilis dampak yang ditimbulkan terkait metode penangkapan yang tidak efektif. Dalam Permen juga disoroti terkait zona 1 yakni zona yang diperuntukkan untuk nelayan tradisional untuk menangkap ikan yakni pada zona 0-4 mil. Zona ini dinilai banyak pihak akan sangat menyulitkan dan mempersempit ruang gerak nelayan tradisional.