Alih-alih ingin dilema antara memilih menjadi pengangguran saja, para nelayan lebih memilih menjual ikannya dengan harga murah. Pandemi Covid-19 Kritisnya Masa Kerja Nelayan
Negara Indonesia memiliki keanekaragaman sumber daya alam yang dapat dinikmati oleh para penghuni yang menetap disekitarnya, misalnya laut yang menjadi mata pencaharian para nelayan
Ada beberapa daerah yang penghuninya lebih banyak menggandrungi profesi sebagai nelayan salah satunya adalah provinsi Sulawesi Selatan yang notabenenya menempati urutan pertama sebagai daerah penghasil ikan terbesar di Indonesia.
Daerah ini berhasil menghasilkan ikan sebanyak 21,6 persen per tahun untuk memenuhi kebutuhan ekspor.
Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP RI), pada tahun 2019 Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) terus menunjukkan tren peningkatan, juga dapat dilihat pada data Balai Besar Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (KIPM) Makassar, volume ekspor produk perikanan Sulsel pada periode Mei 2019 tercatat sebesar 15.089 ton dengan nilai mencapai Rp.444,1 miliar.
Namun pada tahun ini cukup berbeda, nelayan disuguhkan dengan Pandemi COVID 19 yang menjadi dalang kritisnya masa kerja mereka. Semenjak wabah itu hinggap di indonesia, khususnya di daerah Sulawesi Selatan jumlah tangkapan ikan masih saja meningkat namun justru harga ikan dipasaran semakin anjlok. Perbandingannya dapat dilihat dari informasi yang dikeluarkan oleh Berita kota makassar (BKM) Contoh, harga ikan Deho yang lagi musim saat ini, sebelum mewabahnya covid 19 masih dihargai Rp.800.000 hingga Rp1.000.000 per 50 kg. Sekarang ini, hanya mampu dipasarkan dengan harga Rp.350.000 hingga Rp.400.000.
Lagi-lagi akibat pandemi COVID-19 pemerintah menerbitkan peraturan pembatasan ruang gerak ekspor bagi tiap cakupan termasuk dibidang perikanan yang pula menjadi alasan kritisnya peningkatan penghasilan nelayan. Tak tanggung-tanggung biaya operasional seperti perawatan kapal, dan mesin ikut menjadi acuan para nelayan untuk berhenti melaut dengan fakta anggapan kerugian lebih banyak dibanding keuntungan.
“Siapa lagi yang mampu memperjuangkan kehidupannya selain mereka sendiri?”
Bukan ingin meniadakan aturan yang diberlakukan oleh pemerintah seperti social distancing (Menjaga jarak) dan work from home (bekerja dirumah) yang di kemukakan sebagai salah satu cara pemutusan rantai penularan covid-19. Sebagian dari mereka lebih memilih berada diluar rumah seperti melaut karena para nelayan ingin tetap melanjutkan perjuangan dalam mengais rezeki, menghidupi para keluarga dan sanak saudaranya. sebab bagi mereka, Siapa lagi yang mampu memperjuangkan kehidupannya selain mereka sendiri?
Meski begitu, Upaya yang ditawarkan oleh pemerintah dalam menanggapi tagar #dirumahaja cukup beragam seperti misalnya pemberian bantuan sosial oleh Presiden RI berupa sembako dan uang tunai senilai Rp 600 ribu per keluarga selama 3 bulan. Bantuan juga diberikan oleh dinas kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan dengan melihat situasi para nelayan saat ini ialah mereka melakukan berbagai upaya penanganan berupa dukungan kepada nelayan yang terkena dampak COVID-19, mulai dari jaminan keamanan dan kesehatan, mendorong Pemda kabupaten/kota untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, serta menyusun langkah-langkah strategis pasca pandemi.
Oleh karena itu, diharapkan pemerintah terkhusus pemerintah Sulawesi Selatan dapat lebih tanggap dalam menanggulangi ketimpangan yang terjadi di kehidupan para nelayan dengan merealisasikan rumusan bantuan yang telah dikemukakan secara menyeluruh untuk semua nelayan. Pandemi Covid-19 Kritisnya Masa Kerja Nelayan
Penulis : Jumriani Syam