Koalisi organisasi ragukan komitmen Hyundai Motor capai carbon netral 2045. Produsen otomotif asal Korea Selatan, Hyundai Motor Company, dinilai mengingkari komitmen menciptakan kendaraan ramah lingkungan sejak praproduksi atau pembelian material. Sebab, nyatanya akan menggunakan bahan baku yang dihasilkan dari energi fosil.
Ini tecermin dari langkah nota kesepahaman (MoU) antara Hyundai dengan PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (AMI). Isinya, Hyundai akan membeli maksimum 100.000 ton aluminium per tahun dari Adaro Minerals. Sementara itu, Adaro Minerals berencana membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara berkapasitas 1,1 gigawatt (GW) sebagai sumber energi produksi aluminium tersebut.
Hyundai disebutkan telah mengingkari komitmen kendaraan ramah lingkungan dengan menggunakan aluminium yang diproduksi menggunakan PLTU batu bara baru. Oleh karena itu, Market Forces bersama sembilan organisasi sipil lain yang berbasis di Indonesia dan Korea melayangkan surat keberatan ke Hyundai, 24 Januari 2023.
Sepuluh organisasi sipil tersebut juga mengkritik rencana Adaro Minerals membangun PLTU. Pangkalnya, bertentangan dengan seruan International Energy Agency yang mendorong tidak adanya pembangunan PLTU jika dunia serius menyetop laju krisis iklim, yang memicu bencana besar seperti banjir dan kenaikan permukaan air laut.
Smelter aluminium Adaro Minerals diklaim akan berkapasitas 1,5 juta ton per tahun pada 2029. Tahap akhir pembangunannya disebut bakal mengandalkan tenaga air. Sementara itu, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, berpendapat, target Hyundai mencapai karbon netral pada 2045 hanya sebatas wacana.
“Rata-rata PLTU di dunia beroperasi sepanjang 46 tahun, artinya akan sulit bagi Hyundai untuk mencapai target karbon netral di tahun 2045 jika Hyundai mengandalkan aluminium yang dihasilkan dari energi batu bara milik Adaro. Konsumen kendaraan listrik pun makin skeptis bahwa tujuan transisi energi masih dikotori oleh pemanfaatan batu bara secara masif,” tuturnya.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, menambahkan, Indonesia tak memerlukan PLTU batu bara baru karena mengotori lingkungan. Apalagi, Adaro memiliki rekam jejak buruk perusakan lingkungan di Kalimantan dan menyebabkan banjir dan longsor.
“Kami sangat khawatir Hyundai menandatangani nota kesepahaman untuk pembelian aluminium yang diproduksi oleh Adaro, ketika sudah jelas bahwa produksi tersebut akan disokong PLTU batu-bara baru. Hyundai seharusnya tidak mendukung aluminium kotor produksi Adaro dan mendorong investasi yang rendah karbon di Indonesia,” paparnya.